Rabu, 26 Maret 2014

Selamat Jalan Bapak Awe Dharmawan

Hari ini agenda acara saya adalah melayat ke Gowongan Kidul, tempat dimana rumah bapak Awe Dharmawan dan keluarganya tinggal. Saya pribadi tidak begitu mengenal sosok beliau, hanya saja kebetulan lokasi rumahnya cukup berdekatan dengan rumah mertua saya. Saya sendiri lebih mengenal anak dan menantu beliau yaitu Ibu Dewi dan Bapak Tessa yang merupakan rekan sepelayanan saya dan istri di GBI Aletheia Yogyakarta.

Sudah sejak beberapa tahun terakhir ini, Bapak Awe memang menderita sakit cukup parah sehingga akhirnya kemarin dipanggil pulang ke rumah Bapa di Sorga. Yang cukup membuat saya bangga adalah saat mendengar cerita dari beberapa sahabat yang mengenal beliau cukup dekat yaitu beliau memiliki iman yang kuat kepada Tuhan Yesus, dan disaat-saat terakhir dalam hidupnya pun beliau selalu bersemangat untuk bersekutu dan memuji Tuhan. Dan saya percaya jika saat ini Pak Awe sudah hidup kekal dan bahagia disisi Tuhan Yesus, tidak lagi harus menderita akibat sakit penyakitnya, karena sekarang beliau telah memiliki "tubuh kemuliaan" yang tidak bisa lagi dikuasai oleh sakit penyakit dan berbagai kelemahan manusiawi lainnya. Selamat Jalan Pak Awe...selamat berbahagia bersama dengan Tuhan Yesus

Jumat, 21 Maret 2014

Berjalan di Atas Badai (Part 4)

Melanjutkan kembali beberapa artikel saya sebelumnya, dengan artikel terakhir berjudul Berjalan di Atas Badai (Part 3), pada bagian ini kita akan mengupas kembali bagian inti dari buku Berjalan di Atas Badai yang ditulis oleh Pdt. Sukamal B. Fadelan. Mari kita kupas bersama-sama.

Bab III : Bertindak Melampaui Badai

Ketika Petrus meminta kepada Tuhan Yesus untuk bisa berjalan di atas air, apakah permintaan tersebut dikabulkan? Ya benar, permintaannya dikabulkan. Sekalipun permintaan Petrus dikabulkan, apakah secara otomatis Petrus langsung berjalan di atas air? Tidak!. Permintaannya untuk berjalan di atas air memang dikabulkan, namun untuk merealisasikan permintaannya tersebut diperlukan tindakan nyata dari Petrus sendiri, Petrus pun kemudian melangkahkan kakinya. Ia tidak pernah berpikir apakah ia bisa berjalan di atas air ataupun tidak. Ia hanya berpikir bahwa ia harus melangkah karena itu yang harus ia lakukan. Kemudian mukjizat pun terjadi, Petrus "berjalan di atas badai".

Doa kita mungkin sebenarnya sudah dikabulkan oleh Tuhan, tetapi realisasi dari apa yang kita doakan sedang menantikan tindakan nyata dari kita sendiri. Allah ingin bekerja sama dengan kita. Kerjakan bagian kita dengan baik, dan Allah akan mengerjakan bagian-Nya. Oleh karena itu, beranilah "bertindak melampaui badai". Jangan pernah terikat dengan pemikiran apakah saya bisa atau tidak. Nah, ada empat hal yang harus kita lakukan untuk bertindak melampaui badai yaitu :

  1. Beranilah Memulai Sesuatu yang Baru
    Kalau Petrus ingin mengalami "berjalan di atas badai", ia tentu tidak bisa hanya diam saja dan tetap berada di atas perahu. Ia harus berani melakukan sesuatu yang baru, sesuatu yang berbeda dengan cara yang juga berbeda, yaitu berjalan keluar dari perahunya. Memang benar bahwa berada di dalam perahu tentu akan lebih aman dan nyaman dibandingkan berada di luar perahu, apalagi saat ada badai. Namun perahu itu justru membatasi Petrus untuk mengalami peristiwa yang luar biasa.

    Keadaan nyaman yang sudah kita alami saat ini sering menjadi batasan yang menghalangi kita untuk bisa mengalami berbagai terobosan. Keluarlah dari "zona nyaman" dan mulailah di zona yang baru. Melakukan sesuatu yang baru dan berbeda sering membuat kita merasa tidak nyaman. Namun, jika kita ingin mengalami pembaruan, maka kita harus berani untuk melakukan sesuatu yang baru dan berbeda, serta memiliki pola pikir yang baru, yaitu pola pikir yang berbeda dari biasanya.
  2. Beranilah Bertindak Sekalipun Beresiko
    Resiko apakah yang mungkin terjadi jika Petrus turun dari perahu dan berjalan di atas air? Resiko yang sangat jelas adalah Petrus akan tenggelam. Apakah Petrus mengetahui resiko ini? Tahu. Namun, apakah ia mengurungkan niatnya? Tidak.

    Jika keluar dari perahu tentu ada resiko yang mungkin terjadi, jadi apakah jika kita tetap berada di dalam perahu tidak akan mengalami resiko? Perahu bisa saja diterjang badai dan lalu tenggelam, itu artinya bahwa tetap di dalam perahu pun masih memiliki resiko, semua ada resikonya, itulah kehidupan. Permasalahan hidup ini bukan ada resiko atau tidak, melainkan resiko yang mana yang sebaiknya kita ambil. Ada empat hal yang dapat kita pelajari dari Petrus. Kapan kita harus berani mengambil resiko?
    • Beranilah mengambil resiko jika itu adalah impian Anda
    • Beranilah mengambil resiko jika Tuhan yang memerintahkannya
    • Beranilah mengambil resiko jika hal itu untuk kemuliaan Tuhan
    • Beranilah mengambil resiko jika hal itu sebanding dengan harga yang harus Anda bayar
  3. Tetaplah Berfokus Kepada Tuhan
    Petrus sudah memulai dengan baik, ia bisa berjalan di atas badai, Namun di tengah perjalanan, ia mulai tenggelam. Petrus mulai tenggelam ketika ia mulai merasakan tiupan angin. Akibatnya, terpaan angin yang keras membuat ia takut, dan ketakutannya membuat ia bimbang, dan hasilnya ia mulai tenggelam dan mukjizat pun berhenti. Hal yang berbeda ketika Petrus berfokus pada Yesus, tiupan angin tidak dirasakannya, tidak membuat ia takut dan bimbang. Ia melangkah dengan kepastian dan mukjizat pun terjadi. Kuncinya adalah terletak pada Fokus.
  4. Janganlah Bimbang, Percaya Saja
    Bukan tiupan angin ataupun badai yang membuat Petrus tenggelam, melainkan ketakutan dan kebimbangannya. Ketika Petrus khawatir dan takut, imannya menjadi lemah. Itulah sebabnya Tuhan Yesus menegurnya, "Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?". Hal yang menarik disini adalah Tuhan Yesus tidak menegur Petrus karena permintaan ataupun keinginannya, tetapi menegur ketidakpercayaannya. Silakan Anda meminta hal-hal yang mustahil kepada Tuhan dan milikilah impian yang besar, namun yang terpenting adalah Anda harus percaya maka Anda akan mengalami pengalaman hidup yang luar biasa bersama Yesus.
Sumber :
Buku "Berjalan di Atas Badai'

Pdt. Sukamal B. Fadelan

Rabu, 19 Maret 2014

Berjalan di Atas Badai (Part 3)

Melanjutkan artikel saya sebelumnya Berjalan di Atas Badai (Part 2), pada bagian ini kita akan melanjutkan bagian inti dari buku Berjalan di Atas Badai yang ditulis oleh Pdt. Sukamal B. Fadelan. Yuk kita lihat bersama-sama.

Bab II : Permintaan Melampaui Badai

Ada dua belas orang yang berada di dalam perahu, tapi hanya Petrus yang berjalan di atas air. Mengapa? Salah satu yang membedakan Petrus dengan yang lain adalah keberanian untuk meminta perkara yang besar. Bagaimana dengan  yang lain? Mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat, kecuali berteriak dengan ketakutan. Patut untuk kita renungkan, daripada berteriak ketakutan, bukankah lebih baik berteriak kepada Tuhan dalam doa supaya dapat hidup melampaui badai. Apa yang membuat Petrus keluar dari perahu dan berjalan di atas air? jawabannya adalah perkataan Tuhan Yesus, "Datanglah!" Apa yang membuat Tuhan Yesus berkata seperti itu? Permintaan Petrus, "Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air." Inilah hukum yang ditetapkan Tuhan, Tuhan memberikan kepada mereka yang meminta kepada-Nya. Bagaimana seharusnya kita berdoa saat menghadapi "badai"? Ada tiga jenis doa yang seringkali dipanjatkan saat menghadapi "badai" kehidupan.
  1. Tuhan, Janganlah Membawa Kami ke Dalam Badai
    Jenis doa pertama yang sering kita panjatkan adalah, "Tuhan, janganlah membawa kami ke dalam badai." Kita boleh dan bahkan harus berdoa seperti itu karena Tuhan Yesus mengajarkan doa tersebut. Namun ada tiga hal yang juga harus kita ketahui yaitu, keuntungan, kerugian, dan juga hal yang seharusnya.
    • Keuntungan : Kita tidak mengalami badai
    • Kerugian : Kita akan tetap menjadi pribadi yang lemah
    • Hal yang seharusnya : Kita tidak seharusnya terus berdoa seperti itu
  2. Tuhan, Hentikanlah Badai Ini
    Setiap kali mengijinkan "badai" terjadi dalam kehidupan kita, Allah selalu mempunyai tujuan yang jauh lebih besar daripada "badai" itu sendiri, bahkan lebih besar jika dibandingkan dengan harga yang harus kita bayar saat menghadapinya. Jadi, Allah tidak akan menghentikan "badai" sebelum tujuan-Nya tercapai. Jika kita memaksa Dia untuk menghentikan "badai", maka kita tidak akan sampai pada tujuan. Dan jika kita tidak sampai pada tujuan, apa artinya hidup ini?. Sekali lagi, kita boleh berdoa, "Tuhan, hentikanlah badai ini." Namun jika doa kita terus seperti itu , hal ini mencerminkan bahwa kita bersedia menghadapi "badai" namun tidak siap untuk mengatasinya.
  3. Tuhan, Berikanlah Kami Hikmat dan Kekuatan untuk Mengatasi Badai Ini
    Bukanlah doa supaya tidak ada beban, melainkan berdoalah supaya diberikan kekuatan untuk mengangkat beban. Bukan berdoa supaya beban dikurangi, melainkan berdoalah supaya kekuatan kita ditambah. Bukan berdoa untuk menghilangkan masalah, melainkan berdoalah supaya dapat mengubah masalah. Tidak ada kehidupan yang melampaui "badai" jika kita selalu meminta supaya tidak mengalami "badai". Tidak ada kehidupan yang melampaui "badai", jika setiap kali ada "badai" tapi kita selalu meminta Tuhan untuk menghentikannya. Kehidupan melampaui "badai" dimungkinkan jika kita berani menghadapi "badai" dan senantiasa meminta hikmat serta kekuatan untuk mengatasinya.

Sumber :
Buku "Berjalan di Atas Badai'











Pdt. Sukamal B. Fadelan

Rabu, 12 Maret 2014

Penguasaan diri - Empat Hal yang Harus Dikuasai Untuk Menjadi Pribadi yang Berkenan Kepada Tuhan

Shalom sobat sekalian, malam hari ini agenda kami adalah menghadiri ibadah komsel Persetia di rumah Bp. Petrus Beni. Ibadah komsel ini dihadiri oleh 7 keluarga termasuk tuan rumah. Ibadah kami mulai pukul 19.30 dengan menaikkan puji-pujian yang dilanjutkan dengan kesaksian dari Bp. Yusak yang baru saja sembuh dari sakit.

Masuk ke bagian firman, kami dilayani oleh Bp. Edy Widodo yang datang sebagai undangan untuk menyampaikan kebenaran firman Tuhan kepada kami semua. Beliau menyampaikan firman mengenai "Penguasaan diri" agar kita bisa menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik di masa akhir jaman. Nah, apa sajakah hal-hal yang harus bisa kita kendalikan tersebut? Ada empat hal yang seharusnya bisa kendalikan yaitu

  1. Kendalikan mulut dan perut. Yang dimaksud disini adalah bahwa kita harus mampu menguasai keinginan untuk makan+minum yang berlebihan, yang dapat membahayakan kesehatan kita semua. Karena jika kita tidak mampu menguasai diri kita terhadap makanan, maka yang terjadi justru akan menimbulkan berbagai macam gangguan penyakit. Dan jika terjadi sesuatu pada diri kita, tentu akan berdampak pada orang-orang terdekat kita, seperti istri, suami dan anak.
  2. Kendalikan kebutuhan biologis. Yang dimaksud disini tidak lain adalah kebutuhan seksual. Pada akhir zaman saat ini iblis bekerja dengan luar biasa untuk mengekploitasi salah satu kelemahan terbesar manusia ini. Sudah sangat sering kita dengar rumah tangga yang hancur akibat suami istri tidak mampu menguasai kebutuhan biologisnya ini.
  3. Kendalikan kesenangan duniawi. Semua hal di dunia ini menyenangkan bagi kita, namun bisa membuat hati kita menjauh dari Tuhan, bisa kita kategorikan sebagai kesenangan duniawi.
  4. Kendalikan keinginan akan harta. Harta juga merupakan salah satu kelemahan terbesar bagi manusia. Bp. Edy memberikan suatu ilustrasi seperti ini, "Kita mungkin bisa bertahan dengan iman kita saat dipaksa untuk murtad dengan todongan pistol di kepala kita, tetapi kita justru bisa terjatuh dan murtad dari iman kita saat mendapatkan iming-iming harta yang berlimpah."
Selesai firman, masuk ke doa syafaat dan persembahan. Di  bagian penutup telah tersedia berkat jasmani yang disiapkan oleh Bu Lily, yaitu rawon spesial. Rawon buatan Bu Lily emang spesial, sangat cocok di lidah saya, akhirnya makan sampai kenyang (sampai lupa firman yang nomor 1 hehehe). Selesai makan, ngobrol-ngobrol sebentar lalu kami semua mulai berpamitan pulang ke rumah masing-masing.

Senin, 10 Maret 2014

Mang Engking - Tempat Yang Asyik Untuk Melepaskan Rasa Penat

Shalom sobat sekalian, bagaimana kabar kalian? hari minggu kemarin kami sekeluarga menghabiskan liburan kami dengan mengunjungi tempat favorit kami yaitu Gubug Makan Mang Engking yang terletak di Jalan Godean. Hari minggu kemarin kami mulai dengan bangun pagi dan kemudian berangkat ke GBI Aletheia untuk beribadah. Kami mengambil jam ibadah ketiga pada hari itu dikarenakan kebetulan suami ikut bertugas melayani bersama rekan-rekannya di group choir Semper Fi. Di bagian firman diisi oleh pendeta tamu yaitu Pdt. Sam Soukota dari Tawangmangu. Tema dari firman yang disampaikan oleh beliau adalah The Power of Hug atau dengan kata lain adalah Kekuatan dari sebuah Pelukan. Dan ternyata isi dari firman yang disampaikan hampir sama persis dengan artikel yang baru saja saya tulis kemarin yaitu Lima Bahasa Kasih - The Five Language of Love.

Sepulang dari gereja, kami langsung pulang ke rumah untuk berganti pakaian dan kemudian langsung berangkat menuju lokasi Gubug Makan Mang Engking. Perjalanan tidak terlalu jauh, hanya memakan waktu sekitar 30 menit dari rumah kami. Jalan menuju lokasi lumayan asyik karena melewati daerah pedesaan yang masih banyak sawahnya sehingga membuat hati dan pikiran menjadi sangat terhibur. Sampai di lokasi, jam sudah menunjukkan pukul 13.50 WIB, kami langsung memesan makanan. Selesai makan, kami masih menikmati kebersamaan kami disana dengan memberi makan ikan, bermain perahu, bermain becak mini, dan juga tak lupa berfoto-foto di areal persawahan disana. Setelah puas bermain, dan jam sudah menunjukkan sekitar pukul 17.00 WIB maka kami mulai beranjak untuk pulang ke rumah. Nah, dibawah ini saya bagikan beberapa foto yang berhasil kami abadikan saat berada di sana.

Bergaya dulu sebelum makan
Menikmati danau buatan
Narsis dulu sebelum pulang
Main jungkat-jungkit
Berpose sambil gemetaran :D
Pemandangannya keren ya :)
Serasa masih pacaran aja nih :D
Bergaya dengan para putri yang cantik
Jadi inget di kampung halaman :D
Keren ya :D
Awas sensor....:D
Jaxine jepretnya kelamaan, papa sampe pegel nih kakinya :(
Iklan tas ya cie :D
Pose terakhir sebelum pulang

Sabtu, 08 Maret 2014

Lima Bahasa Kasih - The Five Language of Love

Jika pada artikel sebelumnya, saya telah menulis tentang Aletheia Family Faithzone - Language of Love, maka pada kesempatan saat ini saya ingin mengupas lebih dalam tentang Language of Love atau Bahasa Kasih tersebut. Ada lima bahasa cinta yang dianggap paling penting dalam hubungan suami istri, apa saja itu? yuk kita lihat satu per satu...
  1. Pujian (Words of Affirmation)
    Bagi orang -orang yang bahasa kasihnya adalah Pujian, maka mendapatkan pujian dari pasangannya bisa jadi seperti "gerojokan" air di tengah padang gurun. Namun sayangnya, kita biasanya pelit untuk memberikan pujian kepada pasangan kita setelah menikah, hal yang sangat kontras terjadi pada saat masih pacaran.

    Mengapa kita perlu memberikan pujian kepada pasangan? Jawabannya adalah karena :
    • Pujian membangkitkan rasa percaya diri
    • Pujian membangkitkan semangat yang patah
    • Pujian mencairkan suasana yang kaku
    • Pujian adalah vitamin bagi jiwa, dan motivator yang luar biasa
  2. Waktu Bersama (Quality Time)
    Ada kisah tentang pasangan suami istri. Sang istri selalu mengkritik, mengeluh dan menyampaikan rasa tidak puas terhadap apa saja yang dilakukan oleh sang suami. Padahal sang suami merasa sudah melakukan yang terbaik bagi istrinya tersebut, seperti mencuci mobil, mengepel lantai, dan bahkan banyak pekerjaan rumah lainnya. Setelah diselidiki, ternyata pelayanan bukanlah bahasa kasih sang istri. Tak heran jika setiap hari ia terus saja merasa kurang diperhatikan karena ternyata yang menjadi bahasa kasinya adalah waktu bersama (quality time).

    Setelah mengetahui bahasa kasih sang istri, maka suaminya mulai mengubah kebiasaannya. Pada setiap akhir pekan ia mengatur sebuah acara bersama keluarga ke suatu tempat hingga membuat sang istri merasa benar-benar kegirangan. Sang suami mulai membuat jadwal reguler tiap pekannya, dan dampak yang ditimbulkan pun sangat spektakuler, istrinya selalu tersenyum, matanya menyinarkan sukacita. Selain itu, ia tidak pernah lagi mengkritik dan mengecam suaminya.
  3. Pelayanan (Act of Service)
    Moses adalah seorang suami yang sangat berkonsentrasi pada kehidupan keluarganya dan selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi keluarganya. Saat istrinya mengambil keputusan untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja, dengan ikhlas ia mengijinkan karena merasa bahwa gajinya bisa untuk mencukupi kehidupan mereka sehari-hari. Namun yang cukup mengganggunya adalah kenyataan bahwa sang istri juga tidak mengerjakan apapun di rumah, seperti membersihkan rumah, padahal dia sudah tidak berkerja. Rumahnya sangat berantakan, barang belanjaan tetap ada di kantong belanjaan, bahkan ia enak-enak nonton tv tanpa memperdulikan makan malam untuk suaminya.

    "Saya bosan hidup seperti di dalam kandang kuda,' begitulah suami ini sering mengeluh. "Kalau ia tak mau masak ya tak apalah, tapi minimal saya ingin ia mau membersihkan rumah supaya rumah tidak seperti kapal pecah."

    Ternyata yang menjadi bahasa kasih sang suami adalah Pelayanan. Tangki cintanya begitu kosong, terlihat dari perkataannya. Ia tidak mempermasalahkn istrinya tidak bekerja, tetapi ia menginginkan rumahnya rapi dan teratur.
  4. Hadiah (Receiving Gift)
    Hadiah memang merupakan ungkapan cinta bagi semua budaya. Semua orang biasa mempraktikkannya karena hadiah merupakan bahasa yang universal. Tetapi ternyata hadiah juga merupakan salah satu bahasa kasih. Mungkin kita tidak terbiasa dengan pemberian hadiah sehingga merasa kebingungan jenis hadiah apa yang sebaiknya kita berikan. Namun tidak selalu hadiah tersebut berasal dari ide kita, kita bisa saja meminya saran dari teman dekat atau saudara kandungnya untuk memilih kado yang tepat bagi suami atau istri kita.
  5. Sentuhan Fisik (Physical Touch)
    Ini bukanlah sentuhan fisik untuk melakukan hubungan seks. Namun, sentuhan fisik ini merupakan ungkapan kasih yang tulus, seperti memegang tangan, meletakkan tangan di atas bahu pasangan, serta memijat pasangan serta mengelus rambutnya. Sentuhan fisik memberikan manfaat yang sangat penting dalam hubungan pernikahan, yaitu :
    • Sentuhan fisik memperbaiki kesehatan kita
    • Sentuhan fisik dalam pernikahan adalah alat komunikator yang sangat hebat
    • Sentuhan fisik memperkuat ikatan emosi suami dan istri
    • Sentuhan fisik melepaskan bahasa kasih

    Menemukan bahasa kasih pasangan
    Tidak diperlukan perjuangan yang panjang dan melelahkan untuk menemukan bahasa kasih dari pasangan kita. Ini hanya memerlukan sedikit pengamatan kita saja. Seiiring kita menjalani hubungan, kita akan mudah untuk mengetahui jenis bahasa kasih yang dimilikinya. Untuk mempunyai pernikahan yang kuat, hal ini harus menjadi dasar di dalam hubungan suami dan istri. Setelah mengetahui bahasa kasih pasangan, ungkapkan kasihmu kepada pasangan sesuai dengan bahasa kasihnya. Inilah hukum kasih, yaitu Memberi

Rabu, 05 Maret 2014

Aletheia Family Faithzone - Language of Love


http://dedhotindra.blogspot.com/2014/02/shooting-pengambilan-video-aff-news-gbi.html

Di dalam sebuah pernikahan, komunikasi adalah sesuatu yang amat sangat penting bagi pasangan suami dan istri. Bahkan, komunikasi bisa juga disebut sebagai denyut nadi di dalam pernikahan. Secara umum komunikasi terbagi menjadi 2 jenis yaitu :
  1. Komunikasi Verbal. Komunikasi yang terjadi melalui kata-kata yang kita ucapkan.
  2. Komunikasi Non Verbal. Komunikasi yang terjadi melalui bahasa tubuh (gestures). Misalnya, suami menunjukkan ekspresi dan mimik wajah yang tidak suka saat istri sedang mengutarakan pendapatnya, sebenarnya kita tidak mengucapkan apa-apa namun istri sudah bisa melihat dari perubahan mimik wajah kita. Bahasa non verbal ini pada kenyataannya justru jauh lebih besar dan kuat pengaruhnya di dalam memberi makna suatu komunikasi, dan juga lebih berdampak dibandingkan dengan bahasa verbal. Kita bisa menafsir makna dari apa yang dikatakan oleh seseorang bukan berdasarkan pada ucapannya, namun lebih kepada bahasa tubuhnya. Bahasa tubuh bisa juga merupakan sikap secara langsung.
Ada sebuah pepatah keluarga yang mengatakan, "Cara terbaik untuk mengasihi anak-anak adalah dengan mengasihi ayah atau ibunya." Pernyataan ini menurut saya sangat benar, karena kualitas kedekatan dan keintiman sebuah keluarga sangat ditentukan oleh cinta antara suami dan istri, dan anak biasanya akan belajar bersikap seperti orang tuanya. Ada salah satu kutipan suatu pernikahan yang berhasil dari Amanda Bradley yaitu :
  • Pernikahan yang baik dibangun atas dasar persahabatan, menghadapinya bersama-sama, saling bergandengan tangan, mengarungi kehidupan, baik dalam suka maupun di dalam duka.
  • Mereka tidak takut untuk saling berbagi perasaan-perasaan dari hati yang terdalam, dan saling menghormati kebutuhan satu dengan yang lainnya.
  • Mereka mendukung yang satu dengan yang lainnya dalam kesetiaan.
  • Ketika masalah-masalah datang dalam kehidupan mereka, mereka tidak saling menyalahkan, tetapi mereka mengasihi seperti apa yang mereka katakan.
  • Mereka menjadikan pernikahan seperti persahabatan sejati, penuh dengan  tindakan yang menunjukkan bahwa mereka saling memperhatikan dan menemukan dunia kebahagiaan, dalam seluruh kasih yang mereka bagikan.
  • Kasih atau cintalah yang menjadi dasar bagi sebuah pernikahan sejati yang dibangun lewat persahabatan sejati. Persahabatan selalu berkaitan erat dengan kasih yang tulus.
Unsur utama di dalam sebuah kasih adalah memberi. Kita bisa saja memberi tanpa mengasihi, tetapi kita tidak bisa mengasihi tanpa memberi. Bahkan Tuhan Yesus pun memberikan teladan yang sangat luar biasa dalam hal ini :
"Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga ia telah mengaruniakan (memberi) anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal." (Yohanes 3 : 16)

Jadi, pernikahan yang berhasil bisa dicapai jika suami atau istri mempraktikkan kasih dengan tulus. Namun sayangnya, kenyataan yang terjjadi adalah seorang istri tidak merasa dikasihi padahal sang suami sudah mengasihi dengan total. Kadangkala sang suami juga merasa tangki emosionalnya kering karena merasa tidak dikasihi dan dicintai oleh istrinya, "Apa yang sesungguhnya terjadi?"

Di dalam bukunya yang berjudul "The Five Love Languages", Gary Chapman menjelaskan, bisa saja suami/istri merasa sudah mengasihi pasangannya dengan total, namun pasangannya tetap saja merasa kurang atau tidak dikasihi lagi. Mengapa bisa begitu? Jawabnya adalah karena suami atau istri tidak mengasihi pasangannya sesuai dengan BAHASA CINTA PRIMERNYA. Memahami dan menguasai bahasa kasih diperlukan untuk menghasilkan sebuah pernikahan yang sehat dan berhasil.

Sumber :
Khotbah Pdt. Larry Nathan Kurniadi, M. A.
Dalam acara Persekutuan Pasutri Aletheia "Aletheia Family Faithzone"
Hari Selasa, 25 Februari 2014
Bertempat di GBI Aletheia Yogyakarta

Senin, 03 Maret 2014

Kaliurang Mengalahkan Rencana ke Festival Durian di Kalibawang

Shalom sobat sekalian, hari ini sayang ingin bercerita tentang aktivitas saya dan keluarga di hari Minggu kemarin. Sejak beberapa hari sebelumnya kami sekeluarga telah berencana untuk mengunjungi daerah Kalibawang, sebuah daerah di Kulonprogo dimana sedang diadakan Festival Durian. Pada acara tersebut dipamerkan dan dijual begitu banyak durian varietas unggulan, yaitu durian manoreh. Di dalam benak saya sudah terbayang-bayang kelezatannya dan sudah gak sabar untuk segera menikmatinya.

Hari Minggu pun tiba, seperti biasa kami mulai hari itu dengan beribadah di GBI Aletheia Yogyakarta, dengan megambil jadwal ibadah ke-2 yaitu pukul 8.15 hingga selesai pukul 10.00 WIB. Sepulang dari gereja kami bersiap-siap untuk pergi, tapi ternyata istri dan anak-anak menunjukkan perasaaan enggan untuk berangkat ke Kalibawang, dan lebih memilih berlibur ke Kaliurang, penyebabnya adalah beberapa hari sebelumnya Jaxine dan Theora saya berikan hadiah berupa scooter baru sehingga mereka ingin mencari tempat yang asyik agar mereka bisa bermain scooter sepuasnya. Disini demokrasi dimulai, karena kalah jumlah akhirnya diputuskan untuk berlibur di Kaliurang saja :(.

Perjalanan ke Kaliurang tergolong cukup dekat, hanya sekitar 20 km dari rumah kami. Seperti biasa, kami selalu mampir di sebuah warung mie ayam dan bakso langganan kami di daerah Pakem. Puas menikmati mie ayam, kami langsung menuju Taman Wisata Kaliurang, disana anak-anak bermain scooter dan ayunan sepuasnya, sedangkan saya dan istri lebih banyak menghabiskan waktu untuk bercengkrama, membaca koran, dan juga tidur-tiduran, serta tidak lupa bagian "wajib" yaitu foto-foto :D. Cukup lama kami berada disana, hingga kemudian hujan gerimis mulai turun dan memaksa kami untuk segera berkemas pulang. Sesampainya di rumah, anak-anak beristirahat sedangkan saya menghabiskan waktu dengan memotong kain sprei dan  mencuci motor kesayangan saya yaitu Yamaha Byson yang saya beli sekitar 5 bulan yang lalu. Nah, di bawah ini saya ingin share sedikit foto-foto aktivitas kemarin ya....

    


Minggu, 02 Maret 2014

Apakah Anugerah Membuka Jalan Untuk Terus Berbuat Dosa?

Shalom sobat semua, pada kesempatan ini kita akan sedikit belajar mengenai "Grace" atau Anugerah. Di dalam Perjanjian Baru tertulis dengan jelas bahwa keselamatan kita untuk masuk sorga bukanlah karena amal dan perbuatan baik manusia. Keselamatan menjadi berkat bagi orang percaya hanya semata-mata karena anugerah atau kasih karunia. (Efesus 2 : 8 - 9). Karena keselamatan tidak tergantung pada perbuatan kita, maka setelah menerima Anugerah apakah kita boleh terus berbuat dosa seenaknya? Berikut ini ada beberapa alasan mengapa ajaran kasih karunia atau anugerah bukan memberi jalan untuk orang berbuat dosa.
  1. Ide kasih karunia berasal dari Allah yang kudus
    Standar Allah untuk manusia agar bisa masuk ke dalam sorga adalah harus 100% murni dan suci pikiran, kata-kata dan perbuatannya. Manusia selalu berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi kriteria ini, namun di dalam Yesaya 64 : 6, Allah bersabda - Semua kesalehan manusia hanyalah bagaikan kain yang kotor saja. Jadi Allah sudah tahu dengan perbuatan baik manusia, tak ada seorangpun yang bisa mencapai standar yang begitu tinggi dan mulia. Oleh karena itulah, Allah menyediakan solusi terbaik untuk masalah ini yaitu Saved by Grace (Selamat semata-mata hanya karena anugerah, bukan karena perbuatan baik manusia). Nah, setelah kita tahu bahwa ide grace atau kasih karunia ini berasal dari Allah yang Mahakudus, adalah sangat tidak mungkin jika anugerah ini kemudian menghasilkan hidup semau gue yang tidak mencerminkan kekudusan Allah.
  2. Anugerah memang gratis karena sudah ada yang membayarnya terlebih dahulu dengan harga yang sangat mahal
    Grace memang gratis, tapi bukan berarti murahan, karena untuk bisa sampai kepada grace ada harga yang harus dibayar dengan sangat mahal - Darah Kristus di kayu salib Golgotha. Di kayu salib itulah Yesus menjadi Anak Domba Allah yang menghapus dosa isi dunia (Yohanes 1 : 29)
  3. Anugerah membuat kita menjadi hamba kebenaran
    Rasul Paulus pernah berkata "Bolehkah kita bertekun dalam dosa supaya kasih karunia makin bertambah?" (Roma 6 : 1). Namun di dalam ayat 2, dengan tegas menjawab,"Sekali-kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya. Paulus menegaskan, dahulu sebelum menerima Kristus, kita semua adalah budak dosa yang melakukan segala macam hal jelek dengan seenaknya, namun ketika Kristus masuk ke dalam hidup kita, kita semua menjadi "Ciptaan yang baru" dalam Kristus (New Creation in Christ) - 2 Korintus 5 : 17. Dengan demikian, karakter seorang ciptaan baru dalam Kristus adalah Tidak lagi menjadi hamba dosa, tetapi hamba kebenaran (Roma 6 : 18 - 19).
  4. Anugerah menghasilkan buah
    Tanda bukti jelas orang yang sudah menerima anugerah atau kasih karunia adalah buah yang mengarah kepada hidup yang menjauhi dosa. "Tetapi sekarang, setelah kamu dimerdekakan dari dosa dan setelah kamu menjadi hamba Allah, kamu beroleh buah yang membawa kamu kepada pengudusan dan sebagai kesudahannya ialah hidup yang kekal (Roma 6 : 22). Bukti jelas seorang penerima anugerah adalah "buah yang nyata".

Sumber : Khotbah Pdt. Ishak Sugianto pada ibadah raya hari Minggu, 02 Maret 2014 di GBI Aletheia Yogyakarta.

Sabtu, 01 Maret 2014

Bersabarlah dengan Waktunya Tuhan

Seorang hamba Tuhan asal Surabaya, mengalami peristiwa unik dan akhirnya menceritakan kesaksian seorang ibu penjual tempe.  Kisah ini nyata terjadi di sebuah desa di daerah Jawa Tengah. Ada seorang ibu, kira-kira berumur setengah baya, ia setiap harinya berjualan tempe di pasar desanya.  Pada suatu hari, saat ia hendak pergi ke pasar untuk menjual  tempe, ia sangat terkejut karena ternyata tempe yang hendak ia jual masih belum jadi tempe alias masih setengah jadi. Ibu ini sangat terpukul, karena jika tempe tersebut tidak jadi maka ia tidak bisa menjualnya dan juga berarti tidak akan  mendapatkan uang karena tempe yang belum jadi  tentunya tidak laku untuk dijual. Ia sangat sedih karena menjual tempe adalah mata pencaharian satu-satunya dalam memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya.

Dengan kondisi hati yang sedih, si ibu akhirnya berdoa kepada Tuhan. Si ibu memang tergolong aktif beribadah ke gereja, dan saat itu terngiang di telinganya firman Tuhan tentang kuasa Tuhan yang sanggup melakukan berbagai perkara-perkara yang ajaib, dan segala sesuatu bagi Tuhan tidak ada yang mustahil. Kemudian dengan harap-harap cemas, si ibu mulai berdoa dengan menumpangkan tangannya pada tempe dagangannya tersebut, "Bapa di dalam Sorga, aku mohon kepada-Mu agar kiranya kedele ini bisa segera menjadi tempe, dalam nama Tuhan Yesus, Amin". Demikianlah kira-kira ia berdoa kepada Tuhan. Dengan hari deg-degan, ia mulai membuka sedikit demi sedikit bungkusan tempenya dan berharap bahwa mujizat benar-benar terjadi.

Namun apa yang terjadi? Dengan kecewa, si ibu harus menerima kenyataan bahwa kedelainya belum menjadi tempe alias masih mentah. Sementara itu, matahari terus naik dan hari semakin siang dimana pasar tentunya  akan makin ramai. Si ibu walau dengan perasaan sedikit  kecewa atas doanya yang belum terkabul tetap  pergi ke pasar membawa  tempe dagangannya yang belum jadi tersebut. Dalam hati kecilnya masih berharap bahwa mujizat akan terjadi di tengah perjalanan menuju pasar. Sebelum berangkat, ia menyempatkan diri untuk berdoa dan menumpangkan  tangan sekali lagi. "Bapa, aku percaya Engkau akan mengabulkan  doa anak-Mu ini. Sementara aku berjalan menuju pasar, Engkau  akan mengadakan mujizat buatku. dalam nama Tuhan Yesus,  Amin." Kemudian iapun segera berangkat.

Sesampainya di pasar, seperti biasa ia segera mengambil tempat untuk menggelar barang dagangannya. Sekarang ia yakin bahwa  kedelainya sekarang pasti sudah jadi tempe. Lalu iapun  membuka keranjangnya perlahan ia membuka sedikit daun pembungkusnya dan  melihat isinya. Apa yang terjadi? Ternyata..........seperti yang sudah kita duga, tempenya benar-benar .......... belum jadi ! Si Ibu menelan ludahnya dan menarik napas dalam-dalam.  hatinya mulai kecewa pada Tuhan  karena merasa doanya tidak dikabulkan. Ia marah karena merasa Tuhan tidak adil. Tuhan tidak kasihan kepadanya padahal ia menggantungkan hidup hanya mengandalkan hasil menjual tempe saja. Seharian itu, ia hanya duduk saja tanpa menggelar tempe dagangannya karena ia tahu bahwa tidak mungkin ada orang mau membeli tempe yang masih setengah jadi. Hari mulai beranjak sore dan pasar sudah mulai sepi ditinggal pembeli. Melihat ke kiri dan ke kanan, ia melihat teman-teman seprofesinya yang sama-sama menjual tempe sudah hampir habis dan siap-siap untuk pulang ke rumah masing-masing. Hatinya betul-betul kecewa, sambil termenung ia membayangkan bahwa hari ini ia tidak mendapatkan keuntungan dari menjual tempe tapi justru menghadapi kerugian akibat tempenya belum jadi.

Saat ia sudah mulai pasrah dan mulai bersiap-siap untuk beranjak pulang, tiba-tiba ada seorang wanita yang menyapanya, "Permisi bu, mohon maaf, saya mau tanya apakah ibu menjual tempe yang belum jadi? Soalnya dari tadi  saya sudah keliling pasar mencarinya." Seketika itu juga si ibu tadi terperangah. Ia sungguh kaget. Sebelum ia  menjawab sapaan wanita di depannya itu, dalam hati  cepat-cepat ia berdoa  "Tuhan?.saat ini aku tidak butuh tempe lagi. Aku  tidak butuh lagi. Biarlah daganganku ini tetap seperti semula. Dalam nama Yesus, dalam namaYesus, Amin."  Tapi kemudian, ia tidak berani menjawab  wanita itu. Ia berpikir jangan-jangan selagi ia duduk-duduk termenung tadi, tempenya sudah jadi.  Jadi ia sendiri saat itu ragu-ragu untuk menjawab ya kepada wanita itu. "Bagaimana  nih?" ia pikir. "Kalau aku katakan iya,  jangan-jangan tempenya sudah jadi. Siapa tahu tadi  sudah terjadi mukjijat Tuhan?" Ia kembali berdoa  dalam hatinya, "Ya Tuhan, biarlah tempeku ini tidak  usah jadi tempe lagi. Sudah ada orang yang  kelihatannya mau beli. Tuhan, tolonglah aku kali ini. Tuhan dengarkanlah doaku ini.." ujarnya  berkali-kali. Lalu, sebelum ia menjawab  wanita itu, ia pun membuka sedikit daun penutupnya.  Kemudian? apa yang dilihatnya? Ternyata ? ternyata memang benar tempenya belum jadi! Ia bersorak gembira di dalam hatinya. Puji Tuhan..Puji Tuhan, katanya.

Singkat cerita wanita itu akhirnya memborong semua tempe setengah jadi si Ibu itu. Tapi sebelum wanita itu pergi, ia penasaran kok ada orang yang mau beli tempe yang belum jadi. Dan wanita itu akhirnya mengatakan bahwa ia memiliki seorang anak yang tinggal di Yogya kepingin banget makan tempe yang berasal dari desa itu. Berhubung tempenya akan dikirim ke Yogya jadi ia  harus membeli tempe yang belum jadi, supaya agar setibanya di sana tempenya sudah jadi. Kalau tempe yang sudah jadi yang dikirim maka setibanya di sana  nanti tempe tersebut sudah tidak bagus lagi dan rasanya sudah tidak enak.

Kesimpulan dari kisah di atas :
Pertama : Kita terlalu sering memaksakan kehendak kita kepada Tuhan pada saat kita berdoa, padahal sebenarnya Tuhan lebih mengetahui apa yang kita perlukan.
Kedua : Tuhan menolong kita dengan cara-Nya yang sama sekali di luar perkiraan kita sebelumnya.
Ketiga : Tiada hal yang mustahil bagi Tuhan
Keempat : Percayalah bahwa Tuhan akan menjawab doa kita sesuai dengan waktu-Nya.